Rabu, 20 Juni 2012
Konsep Mudharabah
08.43 |
Diposting oleh
AL_fhiesya |
Edit Entri
Mengenal Konsep Mudharabah
Allah
menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan
satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu
dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang
memiliki skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua
jenis orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan
harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam
usaha diantaranya Al Mudharabah.
Pengertian Al Mudharabah
Syarikat
Mudhaarabah memiliki
dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan
penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al
Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai
mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya
melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah
berfirman:
عَلِمَ أَنْ
سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ
مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا
تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Dia
mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang
yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang
lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu)
dari al-Qur’an.” (Qs. Al
Muzammil: 20)
Ada juga
yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan dengan
saham yang dimiliki.
Dalam
istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari
kata muqaaradhah yang arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang
dikatakan
تَقَارَضَ
الشَاعِرَانِ
“Dua orang
penyair melakukan muqaaradhah,” yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Disini
perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak
pemodal, sehingga keduanya seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu
diambil dari qardh yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh
terhadap kain, yakni menggigitnya hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal
memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia
juga akan memotong keuntungan usahanya. [1]
Sedangkan
dalam istilah para ulama Syarikat Mudhaarabah memiliki pengertian: Pihak
pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk
diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.[2] Dengan
kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu
pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian
keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.3 Sehingga Al Mudharabah
adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib
Al Mal/Investor) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib)
dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.[4] Bentuk ini menegaskan kerja
sama dengan kontribusi 100% modal dari Shahib Al Mal dan keahlian dari Mudharib.
Hukum Al
Mudharabah Dalam Islam
Para ulama
sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem
jual beli ini adalah ijma’ ulama yang membolehkannya. Seperti dinukilkan Ibnul
Mundzir[5], Ibnu Hazm[6] Ibnu Taimiyah[7] dan lainnya.
Ibnu Hazm
menyatakan: “Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al Qur’an dan
Sunnah yang kita ketahui -Alhamdulillah- kecuali Al Qiraadh (Al
Mudharabah (pen). Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al
Qur’an dan Sunnah. Namun dasarnya adalah ijma’ yang benar. Yang dapat kami
pastikan bahwa hal ini ada dizaman shallallahu’alaihi wa sallam, beliau
ketahui dan setujui dan seandainya tidak demikian maka tidak boleh.”[8]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan
menyatakan: “Ada kritikan atas pernyataan beliau ini:
- Bukan termasuk madzhab beliau
membenarkan ijma’ tanpa diketahui sandarannya dari Al Qur’an dan Sunnah
dan ia sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan dasar dalil Mudharabah
dalam Al Qur’an dan Sunah.
- Beliau tidak memandang bahwa
tidak adanya yang menyelisihi adalah ijma’, padahal ia tidak memiliki
disini kecuali ketidak tahuan adanya yang menyelisihinya.
- Beliau mengakui persetujuan
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam setelah mengetahui sistem
muamalah ini. Taqrier (persetujuan) Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
termasuk satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan beliau) tidak adanya dasar
dari sunnah menentang pernyataan beliau tentang taqrir ini.
- Jual beli (perdagangan) dengan
keridhaan kedua belah fihak yang ada dalam Al Qur’an meliputi juga Al
Qiradh dan Mudharabah
- Madzhab beliau menyatakan harus
ada nash dalam Al Qur’an dan Sunnah atas setiap permasalahan, lalu
bagaimana disini meniadakan dasar dalil Al Qiradh dalam Al Qur’an
dan Sunnah
- Tidak ditemukannya dalil tidak
menunjukkan ketidak adaannya
- Atsar yang ada dalam hal ini
dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak sampai pada derajat
pasti (Qath’i) dengan semua kandungannya, padahal penulis (Ibnu
Hazm) memastikan persetujuan Nabi dalam permasalahan ini.[9]
Demikian
juga Syaikh Al Albani mengkritik pernyataan Ibnu Hazm diatas dengan menyatakan:
“Ada beberapa bantahan (atas pernyataan beliau), yang terpenting bahwa asal
dalam Muamalah adalah boleh kecuali ada nas (yang melarang) beda dengan ibadah,
pada asalnya dalam ibadah dilarang kecuali ada nas, sebagaimana dijelaskan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al Qiradh dan Mudharabah jelas
termasuk yang pertama. Juga ada nash dalam Al Qur’an yang membolehkan
perdagangan dengan keridhoan dan ini jelas mencakup Al Qiraadh. Ini
semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan ijma’ yang beliau
akui sendiri.”[10]
Dalam
kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyatakan: “Sebagian orang menjelaskan beberapa
permasalahan yang ada ijma’ padanya namun tidak memiliki dasar nas, seperti Al
Mudharabah, hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah masyhur
dikalangan bangsa Arab dijahiliyah apalagi pada bangsa Quraisy, karena umumnya
perniagaan jadi pekerjaan mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada
pengelola (‘umaal). Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam
sendiri pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian sebagaimana
telah berangkat dalam perniagaan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang
dipimpin Abu Sufyan kebanyakannya dengan sistem mudharabah dengan Abu
Sufyan dan selainnya. Ketika datang islam Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat dalam perniagaan harta
orang lain secara Mudharabah dan beliau shallallahu’alaihi wa sallam
tidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, pebuatan dan persetujuan
beliau, ketiak beliau setujui maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah.[11]
Juga hukum
ini dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam diantaranya yang diriwayatkan dalam Al-Muwattha’ [12] dari
Zaid bin Aslam, dari ayahnya bahwa ia menceritakan: Abdullah dan Ubaidillah bin
Umar bin Al-Khattab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraaq. Ketika
mereka kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa Al-Asy’ari, yakni gubernur
Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan
suka cita. Beliau berkata: “Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna buat
kalian, pasti akan kulakukan.” Kemudian beliau berkata: “Sepertinya aku bisa
melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan kukirimkan kepada Amirul
Mukminin. Beliau meminjamkannya kepada kalian untuk kalian belikan sesuau di
Iraaq ini, kemudian kalian jugal di kota Al-Madinah. Kalian kembalikan modalnya
kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil.” Mereka berkata: “Kami suka
itu.” Maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk
disampaikan kepada Umar bin Al-Khattab agar Amirul Mukminin itu mengambil dari
mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota Al-Madinah, mereka menjual
barang itu dan mendapatkan keuntungan. Ketika mereka membayarkan uang itu
kepada Umar. Umar lantas bertanya: “Apakah setiap anggota pasukan diberi
pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?” Mereka
menjawab: “Tidak.” Beliau berkata: “Apakah karena kalian adalah anak-anak
Amirul Mukminin sehingga ia memberi kalian pinjaman?” Kembalikan uang itu
beserta keuntungannya.” Adapun Abdullah, hanya membungkam saja. Sementara
Ubaidillah langsung angkat bicara: “Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian
wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan
bertanggungjawab.” Umar tetap berkata: “Berikan uang itu semaunya.” Abdullah
tetap diam, sementara Ubaidillah tetap membantah. Tiba-tiba salah seorang di
antara penggawa Umar berkata: “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai
investasi modal wahai Umar?” Umar menjawab: “Ya. Aku jadikan itu sebagai
investasi modal.” Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya,
sementara Abdullah dan Ubaidillah mengambil setengah keuntungan sisanya.[13]
Kaum
muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga jaman
kiwari ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini
merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa
Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.
Tentulah
sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilainya merupakan salah
satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan
dengan dikelola dan diperniagakan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai
harta mampu berniaga, juga tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai
modal. Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab
itu Mudharabah ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan kedua belah pihak.
Hikmah
Disyariatkannya Al Mudharabah
Islam
mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena
sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada
juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola
dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa
saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor)
memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib
(pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta
dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menolak kerusakan.[14]
Jenis Al
Mudharabah
Para ulama
membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
- Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas).
Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib
Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis
usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini
memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan
apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
- Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas).
Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola
dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan
bertransaksi dengan Mudharib.[15] Jenis kedua ini diperselisihkan para
ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut
berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar
ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak
sehingga wajib ditunaikan.[16]
Perbedaan
antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan
investor.
Rukun Al
Mudharabah
Al
Mudharabah seperti
usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
- Adanya dua atau lebih pelaku
yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
- Objek transaksi kerja sama
yaitu modal, usaha dan keuntungan.
- Pelafalan perjanjian.
Sedangkan
imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan bahwa rukun Mudharabah
ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua
pelaku transaksi.17 Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap
kembali kepada tiga rukun di atas.
Rukun
pertama: adanya dua atau lebih pelaku.
Kedua pelaku
kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun
pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf)
dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak
dilarang beraktivitas pada hartanya[18]. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa
keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak
ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram.[19] Namun sebagian
lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama
dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya
pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga
terlepas dari praktek riba dan haram.[20]
Rukun kedua:
objek Transaksi.
Objek
transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a. Modal
Dalam sistem
Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
- Modal harus berupa alat
tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’[21] atau
barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih.
[22]
- Modal yang diserahkan harus
jelas diketahui.[23]
- Modal yang diserahkan harus
tertentu.
- Modal diserahkan kepada pihak
pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas
dengannya.[24]
Jadi dalam Mudharabah
disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal
kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas,
perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang
kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika
akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah.
Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib
(pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib
ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka
modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.
Kejelasan
jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila
modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa
jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu,
sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.
b. Jenis
Usaha
Jenis usaha
di sini disyaratkan beberapa syarat:
- Jenis usaha tersebut di bidang
perniagaan
- Tidak menyusahkan pengelola
modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang
sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima
atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. [25]
Asal dari
usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang
terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang
mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi,
minuman keras dan sebagainya.[26]
Pembatasan
Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan
membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab
Hambaliyyah.[27] Dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem
sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan,
pada sisi yang lainnya.[28]
c.
Keuntungan
Setiap usaha
dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun
dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
- Keuntungan khusus untuk kedua
pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola
modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga,
misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3
keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang
lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal
tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang.[29]
Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu,
namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad
janji hadiyah kepada istri.[30]
- Pembagian keuntungan untuk
berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan:
‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya
untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.[31]
- Keuntungan harus diketahui
secara jelas.
- Dalam transaksi tersebut
ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan
pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata
seperti setengah, sepertiga atau seperempat.[32] Apa bila ditentuan
nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan
pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya
tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian
untukmu dan sebagian lainnya untukku.
Dalam
pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
- Keuntungan berdasarkan
kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik
modal.[33] Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan
sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan pernyataan:
“Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada
perselisihannya dalam Al Mudharabah murni.” Ibnul Mundzir
menyatakan: “Para ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan
syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½ atau sesuai kesepakatan
berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk persentase.”
[34]
- Pengelola modal hendaknya
menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan
hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh
keuntungan milik pemilik modal (investor).[35] Ibnu Qudamah menyatakan:
“Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian)
pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat
sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil
harta ini secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian
pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk
pemilik modal dan kerugian ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola
modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i,
Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i (Hanafiyah).” [36] Beliaupun
merajihkan pendapat ini.
- Pengelola modal tidak berhak
menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna.
Berarti tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal
doserahkan kepada pemilik modal, apabila ada kerugian dan keuntungan maka
kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik baik kerugian dan
keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam satu perniagaan dan
keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau yang satu dalam satu
perjalanan niaga dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna
keuntungan adalah kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka
bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.[37]
- Keuntungan tidak dibagikan
selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan
sepakat.[38] Ibnu Qudamah menyatakan: “Keuntungan jika tampak dalam
mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa
izin pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan
diantara para ulama.
Tidak dapat
melakukannya karena tiga hal:
- Keuntungan adalah cadangan
modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada kerugian yang dapat ditutupi
dengan keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak menjadi
keuntungan
- Pemilik modal adalah mitrra
usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut
untuk dirinya.
- Kepemilikannya tas hal itu
tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi
kerugian.
Namun
apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka
diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka berdua.”[39]
Hak
mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan
perhitungan akhir terhadap usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan
masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil
dan tidak akan bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan
disaring seluruh bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan
yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi
kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan
akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua
macam:
Pertama:
perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa
menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah
pihak.
Kedua:
Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan
aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana
apabila pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar
kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha
yang lalu.[40]
Rukun
ketiga: Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari
kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah
ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi Mudharabah atau Syarikat
dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.[41]
Syarat Dalam
Mudharabah [42]
Pengertian
syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah
satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat
dalam Al Mudharabah ini ada dua:
1. Syarat
yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan
tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya
Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut
keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus
dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat
ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada
kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian
mudharabah.
2. Syarat
yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:
- Syarat yang meniadakan tuntutan
konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak
menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah
modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi
tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
- Syarat yang bukan dari
kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan kepada pengelola
untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
- Syarat yang berakibat tidak
jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola bagian
keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua
usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang
satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai
keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan
keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat
keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.
Berakhirnya
Usaha Mudharabah
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang
diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak.
Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha
semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia
menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan
meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.
Imam Ibnu
Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Al Mudharabah termasuk jenis
akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua
belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot; hal
itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia
seperti wakiel dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan
sesudahnya.[43] Sedangkan Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh
boleh, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat.
Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh
memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya.
Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha terbut.” [44]
Imam Syafi’i
menyatakan: “Kapan pemilik modal ingin mengambil modalnya sebelum diusahakan
dan sesudahnya dan kapan pengelola ingin keluar dari qiraadh maka ia keluar
darinya.” [45]
Apabila
telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka
harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya
membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan
harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka
diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta
menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada
keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada
pada keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak
keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.[46]
Tampak
sekali dari sini keadilan syariat islam yang sangat memperhatikan keadaan dua
belah pihak yang bertransaksi mudharabah. Sehingga seharusnya kembali
memotivasi diri kita untuk belajar dan mengetahu tata aturan syariat dalam
muamalah sehari-hari.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
patrick is mine!
Patrick is Love
day month year
my facebook :)
About Me
Pengikut
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar