Rabu, 20 Juni 2012
Pengertian Ijarah
09.09 |
Diposting oleh
AL_fhiesya |
Edit Entri
IJARAH
Pengertian, Dasar Hukum dan Pembagian Ijarah
Kata Al-ijarah sendiri berasal dari kata Al ajru yang
diartikan sebagai Al 'Iwadhu yang mempunyai arti ”ganti”, al-kira`,
yang mempunyai arti ”bersamaan” dan al-ujrah
yang memiliki arti ”upah”
Pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam terdapat beberapa
pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:
1. Para ulama dari
golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa
al-ijarah adalah suatu transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu
manfaat yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari barang
yang disewakan dengan adanya imbalan.
2. Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah
dalam masalah ini ada yang diistilahkan dengan kata al-kira`, yang
mempunyai arti bersamaan, akan tetapi untuk istilah al-ijarah mereka
berpendapat adalah suatu `aqad atau perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy
(manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang,
sedangkan untuk al-kira` menurut istilah mereka, digunakan untuk `aqad sewa-menyewa
pada benda-benda tetap, namun demikian dalam hal tertentu, penggunaan istilah
tersebut kadang-kadang juga digunakan.
3. Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah
adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan
merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan
menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang diketahui.
4. Hanabilah berpendapat, al-ijarah
adalah `aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan menurut Syara` dan
diketahui besarnya manfaat tersebut yang diambilkan sedikit demi sedikit dalam
waktu tertentu dengan adanya `iwadah.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa
dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur pokok, yaitu
pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan dan pekerja.
Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang ketiga,
unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah.
Definisi Al-Ijarah
Al Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat suatu
barang dengan jalan penggantian. Beberapa contoh kontrak ijarah (pemilikan
manfaat) seperti (a) Manfaat yang berasal dari aset seperti rumah untuk
ditempati, atau mobil untuk dikendarai, (b) Manfaat yang berasal karya seperti
hasil karya seorang insinyur bangunan, tukang tenun, tukang pewarna, penjahit,
dll (c) Manfaat yang berasal dari skill/keahlian individu seperti pekerja
kantor, pembantu rumah tangga, dll. Sementara itu, menyewakan pohon untuk
dimanfaatkan buahnya, menyewakan makanan untuk dimakan, dll bukan termasuk
kategori ijarah karena barang-barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali
barang-barang tersebut akan habis dikonsumsi.
Adapun landasan hukum ijarah dari Al-Qur’an dapat ditemukan antara lain
pada Surah Az-Zuhruf ayat 32, Surah Al-Baqarah ayat 233, dan Surah Al-Qashash
ayat 26 dan 27. Sedangkan landasan hukum yang berasal dari Hadits Nabi SAW
antara lain Hadits Al-Bukhari yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah menyewa
seseorang dari Bani Ad-Diil bernama Abdullah bin Al Uraiqith sebagai petunjuk
jalan yang professional.
Menurut Sayyid
Sabiq, Ijarah adalah suatu jenis akad
yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dengan demikian pada
hakikatnya ijarah adalah penjualan
manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah
tidak ada perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari
yang menyewakan kepada penyewa.
Dalam
Hukum Islam ada dua jenis ijarah, yaitu
:
a. Ijarah
yang berhubungan dengan sewa
jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang
disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir,
pihak pekerja disebut ajir dan
upah yang dibayarkan disebut ujrah.
b. Ijarah
yang berhubungan dengan sewa
aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti
tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional.
Pihak yang menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebutmu’jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah.
Ijarah
bentuk pertama banyak
diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai
sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syari’ah.
Dasar
Ijarah
Ijarah
sebagai suatu transaksi yang
sifatnya saling tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an
dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khlaifah Umar bin Khathab
yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari
Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang
ditaklukkan. Dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah
berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.
Kebolehan
transaksi ijarah didasarkan
Al Qur’an dan hadits
QS. Al-Baqarah : 233
Artinya :
Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan.
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Tafsir
Ayat ini berisi bimbingan Allah kepada ayah dan ibu dalam menunaikan tanggungjawabnya
sebagai orang tua. Pada awal ayat Allah memberikan bimbingan kepada para Ibu
bayi agar menyusui anaknya secara sempurna yaitu selama dua tahun setelah itu tidak ada lagi
penyusuan, namun penyusuan yang kurang dari dua tahun tidak dilarang karena waktu dua tahun ditujukan bagi mereka
yang ingin melakukan proses secara sempurna. Menyusui bukan merupakan kewajiban
bagi ibu bayi, hanya merupakan anjuran, namun menunaikannya akan lebih
memberikan mashlahah bagi bayi.
Kemudian ayat dilanjutkan dengan mewajibkan bagi para ayah untuk memberikan
biaya hidup dan sandang yang ma’ruf ibu bayi selaras dengan adat istiadat yang
berlaku di negara masing-masing tanpa
berlebihan atau berkekurangan serta selaras dengan kesanggupan dan
kelancaran ayah si bayi. Jadi memberikan nafkah kepada isteri merupakan
kewajiban bagi para suami, namun disesuaikan dengan kemampuan.
Hadirnya anak merupakan rahmat dan amanah dari Allah SWT kepada hamba-Nya,
oleh karena itu Ayah tidak boleh dengan sengaja membuat penderitaan kepada Ibu
melalui anaknya, misalnya Ayah merampas anak dari ibu dengan tujuan membuat Ibu
menderita, atau sebaliknya Ibu sengaja menyusahkan ayah dengan menolak untuk
merawat anak dengan tujuan untuk menyusahkan ayah dalam mendidik anak.
Apabila karena sebab kesulitan satu dan lain hal, ibu dan ayah bersepakat untuk anaknya menyusu
dari perempuan lain , maka hal tersebut dibolehkan dengan syarat pemberian
pembayaran yang patut atas manfaat yang diberikan perempuan lain atau Ibu susu
kepada bayi mereka. Kasus penyusuan ini menjadi dasar atas dibolehkannya
mendapatkan pembayaran atas pekerjaan, manfaat atau jasa yang dilakukan kepada
orang lain.
Kemudian ayat ditutup dengan perintah agar hambanya bertakwa kepada Allah
dan mengingatkan kebesaran Allah bahwa Allah Maha melihat apa-apa yang
dilakukan hambaNya. Demikianlah
penafsiran yang diberikan segolongan
tabi’I dan yang lainnya.
QS. Az-Zukhruf : 32
Artinya :
Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.
Tafsir
Ayat ke 32 surat Az Zukhruf ini didahului dengan kisah Nabi Ibrahim a.s,
bahwa ia berlepas diri dari apa yang dilakukan ayahnya dan kaumnya yang
mempraktikan kemusyrikan dengan
menyembah berhala meskipun Nabi Ibrahim a.s telah memberikan kabar
peringatan kepada mereka. Namun demikian Allah tidak tetap memberikan nikmat kehidupan hingga
kepada keturunan mereka, hingga datang
rasul terakhir yang membawa Al Qur’an yaitu Rasulullah Muhammad saw. Dan
ketika kebenaran itu datang mereka tetap mengingkarinya dan berkata bahwa apa
yang dibawa oleh Rasulullah saw tidak lain adalah sihir, dan dengan menantang
mereka berkata mengapa pula Al-Quran diturunkan pada Muhammad saw yang mereka anggap biasa saja,
alih-alih pembesar penting yang memiliki banyak materi dari negeri Mekah atau Thaif. Atas perkataan mereka Allah
menyanggah siapakah hakekat mereka hingga dengan lancangnya mereka mengatakan amanah dan tanggung jawab
ini dan itu lebih pantas diserahkan kepada si
fulan ini atau si fulan itu.
Kemudian Allah menerangkan bahwa Allah telah membedakan hambaNya berkenaan
dengan harta kekayaan, rezeki, akal, pemahaman, dan sebaginya yang merupakan
kekuatan lahir dan batin,agar satu sama lain saling menggunakan potensinya
dalam beramal, karena yang ini membutuhkan yang itu dan yang itu membutuhkan
yang ini. Kemudian Allah menutup ayat
dengan menegaskan bahwa apa-apa yang dirahmatkan Allah kepada para
Hamba-Nya adalah lebih baik bagi mereka dari pada apa-apa yang tergenggam dalam
tangan mereka berupa pekerjaan-pekerjaan dan kesenangan hidup duniawi.
Ayat ini pun dijadikan dasar bahwa pemanfaatan jasa atau skill orang lain
adalah suatu keniscayaan kerena Allah menciptakan makhlukNya dengan potensi
yang beraneka ragam agar mereka saling bermuamalah.
QS. Al-Qashash ayat 26 - 27 :
Artinya :
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya
bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya. (28-26)
Berkatalah dia (Syu’aib) : ”Sesungguhnya aku
bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas
dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak
memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
baik. (28-27)
Tafsir
Setelah Musa keluar dari Mesir Musa menuju negeri Madyan, di situ Musa
bertemu dua wanita kakak beradik yang kesulitan memberi minum dombanya dari
sumur, karena dihalangi orang-orang. Orang-orang itu setelah memberi minum pada
domba mereka kemudian menutup sumur dengan batu-batu yang hanya bisa diangkat
oleh sepuluh orang laki-laki. Musa kemudian menolong mereka dengan mengangkat
batu-batu itu agar wanita itu bisa memberi minum domba mereka. Musa sangat
kelaparan dan keletihan dalam perjalanannya itu. Wanita kakak beradik itu
kemudian memberitahu mengenai Musa kepada ayah mereka yang telah tua renta, dan
ayah mereka menyuruh keduanya untuk memanggil Musa untuk menemuinya. Orang tua
itu meminta Musa untuk bekerja kepadanya menggembalakan ternak domab selama 8
tahun dan sebagai upahnya adalah menikahi salah satu dari kedua anaknya.
Setelah delapan tahun Musa diberi kebebasan untuk tidak bekerja lagi padanya,
namun apabila Musa mneggenapkannya menjadi 10 tahun maka itu merupakan kenaikan
dari Musa.
Menurut mahzab Hambali ayat ini menjadi dalil bagi sahnya pembayaran upah
dengan makanan atau pakaian.
QS.
Ath-Thaalaq: 6
Artinya :
“ Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah di
talaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. 65:6)
Tafsir
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa menjadi kewajiban bagi suami
memberi tempat tinggal yang layak sesuai dengan kemampuan suaminya kepada istri
yang tengah menjalani idah. Jangan sekali-kali berbuat yang menyempitkan dan
menyusahkan hati istri itu dengan menempatkannya pada tempat yang tidak layak
atau membiarkan orang lain tinggal bersama dia, sehingga ia merasa harus
meninggalkan tempat itu dan menuntut tempat lain yang disenangi.
Jika istri-istri yang ditalak ba'in sedang hamil, maka wajib mereka itu diberi nafkah secukupnya sampai mereka melahirkan, karena apabila mereka itu melahirkan maka habislah masa idahnya. Sekalipun mereka itu sudah habis masa idahnya, tetapi mereka menyusukan anak-anak dari suami yang menalaknya, maka mereka wajib diberi upah sebesar yang umum berlaku, oleh ayah anak-anak itu. Sebaliknya ayah dan ibu dari anak-anak itu merundingkan bersama tentang kemaslahatannya (anak-anak) itu, mengenai kesehatan pendidikan dan sebagainya.
Apabila antara kedua belah pihak tidak terdapat kata sepakat, maka pihak ayah boleh saja memilih perempuan lain yang dapat menerima dan memahami kemampuannya itu, untuk menyusukan anak-anaknya. Sekalipun demikian, kalau anak itu tidak mau menyusu kepada perempuan lain, tetapi maunya kepada ibunya juga, maka wajiblah anak itu menyusu pada ibunya, dengan nafkah yang sama besarnya seperti nafkah yang diberikan kepada orang lain.
Jika istri-istri yang ditalak ba'in sedang hamil, maka wajib mereka itu diberi nafkah secukupnya sampai mereka melahirkan, karena apabila mereka itu melahirkan maka habislah masa idahnya. Sekalipun mereka itu sudah habis masa idahnya, tetapi mereka menyusukan anak-anak dari suami yang menalaknya, maka mereka wajib diberi upah sebesar yang umum berlaku, oleh ayah anak-anak itu. Sebaliknya ayah dan ibu dari anak-anak itu merundingkan bersama tentang kemaslahatannya (anak-anak) itu, mengenai kesehatan pendidikan dan sebagainya.
Apabila antara kedua belah pihak tidak terdapat kata sepakat, maka pihak ayah boleh saja memilih perempuan lain yang dapat menerima dan memahami kemampuannya itu, untuk menyusukan anak-anaknya. Sekalipun demikian, kalau anak itu tidak mau menyusu kepada perempuan lain, tetapi maunya kepada ibunya juga, maka wajiblah anak itu menyusu pada ibunya, dengan nafkah yang sama besarnya seperti nafkah yang diberikan kepada orang lain.
QS.
Al-Kahfi: 77
Artinya :
”Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya
sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri
itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya
mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr
menegakkan dinding itu. Musa berkata: Jikalau kamu mau, niscaya
kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. 18:77)
Tafsir
Surat Al kahfi menceritakan tentang Musa dan sahabatnya Khidir, keduanya
berkelana setelah sebelumnya mencapai kesepakatan untuk bersahabat. Khidir
mensyaratkan agar Musa jang memulai menanyakan sesuatu yang ganjil baginya,
sebelum Khidir menerangkan dan menjelaskannya., setelah dua kali
perjalanan mereka sampai pada negeri
Elia atau Li’ama atau Bakhla, namun penduduk negeri itu menolak untuk menjamu
mereka. Di negeri itu pula mereka mendapati ada sebuah rumah yang
hampir roboh. Lalu Khidir menegakkannya kembali. Musa kemudian mengatakan
kepada Khidir untuk meminta upah kepada penduduk negeri atas perbuataanya telah
menegakkan rumah tersebut, apalagi setelah penduduk negeri itu sama sekali tidak menjamu mereka.
Ayat ini dapat dijadikan rujukkan bahwa manusia dapat meminta upah atas
pekerjaan yang telah dilakukan.
Hadist
Rasulullah SAW
v Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi
Muhammadsaw. Bersabda :
Artinya : Berikanlah
upah pekerja sebelum keringatnya kering.
v
Hadis
riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Barangsiapa
yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.
v Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa
Nabi Muhammad saw. Bersabada:
Artinya : Kami
pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah
melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya
dengan emas atau perak.
v Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf, bahwa Nabi
Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Perdamaian
dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.
Ijma
ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa / Ijarah.
v Kaidah
fiqh
Artinya : Pada
dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalilyang
mengharamkannya.
v Kaidah
fiqh
Artinya : Menghindarkan
mafsadat (kerusakan/bahaya) harusdidahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.
Kaidah-Kaidah dalam Ijaroh :
- Semua
barang yang dapat dinikmati manfaatnya tanpa mengurangi substansi barang
tersebut, maka barang tersebut dapat disewakan.
- Semua
barang yang pemanfaatannya dilakukan sedikit demi sedikit tetapi tidak
mengurangi substansi barang itu seperti susu pada unta dan air dalam sumur
dapat juga disewakan.
- Uang dari
emas atau perak dan tidak dapat disewakan karena barang-barang ini setelah
dikonsumsi menjadi hilang atau habis.
Syarat
ijarah yang harus ada agar terpenuhi
ketentuan-ketentuan hukum Islam, sebagai berikut :
a.
Jasa
atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus
tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.
b.
Kepemilikan
aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab pemeliharaannya,
sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada penyewa.
c.
Akad
ijarah dihentikan pada saat aset yang
bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut
rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih
tetap berlaku.
d.
Aset
tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada
saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual harganya akan ditentukan pada
saat kontrak berakhir.
Rukun dan Syarat Ijarah:
- Mu’jir dan
Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau
upah-mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan,
sedangkan musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan
sesuatu dan yang menyewa sesuatu.
Disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir adalah baligh, berakal, cakap
melakukan tasharuf (mengendalikan harta), dan saling meridhai. Allah SWT
berfirman:
QS. An Nisaa : 29
Artinya:
Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. QS. an-Nisa' (4) : 29
Bagi orang yang
berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan
sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
- Sighat
ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab kabul sewa-menyewa dan
upah-mengupah.
- Ujrah,
disyaratkan deiketahui jumlahnya oleh kedua pihak, baik dalam sewa menyewa
ataupun dalam hal upah-mengupah.
- Barang yang disewakan atau sesuatu
yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang
disewakan dengan beberapa syarat sebagai berikut.
-
Barang yang menjadi objek sewa-menyewa
dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.
-
Benda yang menjadi objek sewa-menyewa
dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut
kegunaanya (khusus daam sewa-menyewa).
-
Manfaat dari benda yang disewa adalah
perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang.
-
Benda yang disewakan disyaratkan kekal
’ain (zat) nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian akad.
Ketentuan Obyek Ijarah:
- Obyek
ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
- Manfaat
barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
- Manfaat
barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
- Kesanggupan
memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
- Manfaat
harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan
mengakibatkan sengketa.
- Spesifikasi
manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan
spesifikasi atau identifikasi fisik.
- Sewa atau upah adalah sesuatu
yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat.
Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual beli dapat pula
dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
- Pembayaran
sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama
dengan obyek kontrak.
- Kelenturan
(flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam
ukuran waktu, tempat dan jarak.
Kewajiban
pemberi manfaat barang atau jasa:
- Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang
diberikan
- Menanggung
biaya pemeliharaan barang.
- Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang
disewakan.
Kewajiban
penerima manfaat barang atau jasa:
- Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk
menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak).
- Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya
ringan (tidak materiil).
- Jika barang yang disewa rusak, bukan karena
pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian
pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas
kerusakan tersebut.
Syarat
Ujrah (fee, bayaran sewa)
•
Harus
termasuk dari harta yang halal
• Harus
diketahui jenis, macam dan satuannya
•
Tidak
boleh dari jenis yang sama dengan manfaat yang akan disewa untuk menghindari
kemiripan riba fadhl
•
Kebanyakan
ulama membolehkan fee ijarah bukan dengan uang tetapi dalam bantuk jasa
(manfaat lain). Misalnya membayar sewa mobil 1 minggu dengan mengajar anaknya
matematika selama 1 bulan 8 Kali pertemuan.
Pada prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dikatakan dengan jelas siapa
yang menanggung biaya pemelihraan asset obyek sewa. Sebagian ulama
menyatakan jika kontrak sewa menyebutkan
biaya perbaikan ditanggung penyewa, maka kontrak sewa itu tidak sah, karena
penyewa menangung biaya yang tidak jelas.
Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad tidak
membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad
pertukaran, kecuali bila didapati adanya hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan
menjadi fasakh (batal) bila terdapat hal-hal sebagai berikut:
-
Terdapat
cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
-
Barang yang disewakan hancur atau
rusak.
-
Rusaknya
barang yang diupahkan, seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
-
Akad
ijarah dihentikan pada saat aset yang
bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa.
-
Terpenuhinya
manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan telah
selesai pekerjaan.
-
Salah satu pihak meninggal dunia
(Hanafi); jika barang yang disewakan itu berupa hewan maka kematiannya
mengakhiri akad ijaroh (Jumhur).
-
Kedua pihak membatalkan akad dengan
iqolah.
Pengembalian
Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban
mengembalikan barang sewaan, jika barang tersebut dapat dipindahkan, ia wajib
menyerahkan kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap,
ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu
berupa tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari
tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah
berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada keharusan
mengembalikan untuk menyerahterimakan seperti barang titipan.
LAIN-LAIN
MENGENAI IJARAH
1. ”Hal-hal yang boleh ditarik upahnya
Segala sesuatu yang dapat diambil
manfaatnya dan sesuatu itu yang tetap utuh, maka boleh disewakan untuk
mendapatkan upahnya, selama tidak didapati larangan dari syari’at.
Dipersyaratkan sesuatu yang disewakan itu harus
jelas dan upahnya pun jelas, demikian pula jangka waktunya dan jenis
pekerjaannya.
Allah swt berfirman ketika menceritakan perihal
rekan Nabi Musa as:
“Berkatalah dia (Syu’aib), Sesungguhnya aku
bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas
dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu.” (QS al-Qashash: 27).
Dari Hanzhalah bin Qais, ia bertutur: Saya
pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij tentang menyewakan tanah dengan emas
dan perak. Maka jawabnya, “Tidak mengapa, sesungguhnya pada masa Nabi saw
orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di
pematang-pematang (galengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu
yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini
musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, lalu
yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat
dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih).
2. Dosa orang yang tidak membayar upah
pekerja
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw Beliau
bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Ada tiga golongan yang pada hari kiamat
(kelak) Aku akan menjadi musuh mereka: (pertama) seorang laki-laki yang
mengucapkan sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua) seorang laki-laki
yang menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang
laki-laki yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas
dengan sempurna, namun ia tidak memberinya upahnya.” (Hasan dan Fathul Bari IV:).
3.
Perbuatan yang tidak boleh diambil upahnya sebagai mata pencaharian
Allah SWT
menegaskan :
“Dan janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian
karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa
mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mulia Pengampun Lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” (QS an-Nuur: 33).
Dari Jabir Abdullah bin Ubai bin Salul
mempunyai dua budak perempuan, yang satu bernama Musaikah dan satunya lagi
bernama Umaimah. Kemudian dia memaksa mereka agar melacur, lalu mereka
mengadukan kasus itu kepada Nabi saw. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu memaksa budak-budak
wanitamu untuk melacur maka adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Shahih: Mukhtashar Muslim dan Muslim).
Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra bahwa
Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan upah tukang tenung. (Muslim,
‘Aunul Ma’bud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasa’i )
Dari Ibnu Umar ra ia berkata, “Nabi saw
melarang upah persetubuhan pejantan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim, Fathul Bari,
‘Aunul Ma’bud, Tirmidzi dan Nasa’i ).
4.
Upah membaca Al-QUR’AN
Dari Abdurrahman bin Syibl al-Anshari ra,
ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda,
“Hendaklah kalian membaca al-Qur’an, namun
janganlah kamu makan dengan (upah membaca)nya, jangan (pula) memperbanyak
(harta) dengannya, jangan kamu berpaling darinya dan jangan (pula) kalian
berkelebihan dalam (menyikapi)nya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir dan al-Fathur
Rabbani ).
Dari Jabir bin Abdillah ra, ia berkata : Rasulullah saw pernah pergi
menemui kami yang sedang membaca al-Qur’an, sedang di antara kami ada yang
berkebangsaan Arab dan ada pula non Arab. Kemudian Beliau bersabda, “Bacalah
(al-Qur’an); karena setiap (huruf) (pahalanya) satu kebaikan; dan akan ada
sejumlah kaum yang berusaha meluruskan bacaan al-Qur’an sebagaimana
dibereskannya gelas (yang pecah); mereka tergesa-gesa untuk mendapat balasannya
dan tidak mau menangguhkannya.” (Shahih: ash-Shahihah dan ‘Aunul Ma’bud).
Ma’na kalimat “Dan akan ada sejumlah kaum yang berusaha meluruskan
bacaan al-Qur’an ini pada mereka yang gigih memperbaiki lafadz dan kata yang
terdapat dalam al-Qur’an dan memaksa dan memperhatikan makharijul huruf dan
sifat-sifatnya “Sebagaimana dibereskannya gelas (yang pecah)” yaitu mereka
berusaha dengan serius memperbaiki bacaan karena riya’, sum’ah, prestise, dan
populer. “Mereka
menangguhkannya, yaitu mendambakan pahala di akhirat, namun justeru mereka
mengutamakan balasan duniawi balasan yang dijanjikan di akhirat. Mereka ittikal
(pasrah tanpa iktiyar), tidak mau bertawakkal kepada-Nya.
Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa ia pernah
mendengar Nabi saw bersabda, “Pelajarilah al-Qur’an, dan dengannya
mohonlah kepada Allah surga sebelum satu kaum yang mempelajarinya untuk mencari
keuntungan duniawi; karena sesungguhnya al-Qur’an dipelajari oleh tiga kelompok
manusia: (pertama) seorang yang senang berbangga diri dengannya, (kedua)
seorang yang mencari makan dengannya, dan (ketiga) seorang yang membacanya
karena Allah ta’ala.” (Shahih: ash-Shahihah dan Ibnu Nashr meriwayatkannya
dalam Qiyamul lail). ” (www.alislamu.com, Pusat Kajian Islam)
BEBERAPA CONTOH APLIKASI IJARAH KONTEMPORER
Ijarah
Ijarah adalah
akad untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang ataupun jasa atas tenaga
kerja. Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang, maka disebut
sewa-menyewa. Sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut
upah-mengupah. Pada ijarah, tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah.
Objek ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan.
Contoh : Pemilik kendaraan bermotor menyewakan kendaraannya dengan memperoleh
imbalan uang sewa. Seorang mandor memperoleh upah dari manfaat tenaga kerja
yang diberikan kepada pemilik proyek.
Ijarah al-Muwazy (Paralel)
Menyewakan barang kepada pihak ketiga, hukumnya dibolehkan, apabila pemilik
barang mengizinkannya. Apabila pemilik asset tidak mengizinkannya, maka
penyewaan kepada pihak ketiga tidak dibolehkan., Bank syariah dan
BMT dapat menjadikan konsep ini sebagai produk.
Ijarah Munyahiyah bit Tamlik
IMBT merupakan kependekan dari Ijarah Mumtahiya bit
Tamlik. Pembiayaan IMBT tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama
dengan sewa beli, dan tidak sama pula dengan leasing. Dalam sewa beli, lessee
otomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa. Dalam IMBT, janji pemindahan
kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak
mengikat. Bila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan
kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai. Sedangkan pada leasing,
kepemilikan lessee tersebut hanya terjadi bila hak opsinya dilaksanakan oleh
lessee. Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai
transaksi dengan prinsip IMBT paling tidak mempunyai dua pilihan. Pertama,
besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada bank telah
memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa
ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil. Dalam hal
ini, meskipun secara teori fikih dikatakan hukumnya tidak mengikat untuk
memindahkan kepemilikan barang tersebut, namun secara praktik bisnisnya barang
tersebut akan diserahkan kepemilikannya kepada nasabah. Jadi dalam hal ini pembiayaan
IMBT lebih mirip dengan sewa beli dibandingkan dengan leasing. Kedua, besarnya angsuran bulanan IMBT yang
harus dibayarkan nasabah kepada tidak memasukkan komponen nilai perolehan
barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang
masih tersisa tidak nihil (biasanya disebut nilai residu). Dalam hal ini, bila
nasabah membayar nilai residu tersebut maka bank akan memindahkan
kepemilikannya pada nasabah. Namun bila nasabah belum membayar nilai residunya,
bank belum memindahkan kepemilikan tersebut. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT
lebih mirip dengan leasing dibandingkan dengan sewa beli.
Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk
membiayai perolehan barang modal oleh lessee, dan barang tersebut tidak berasal
dari pihak lessor, tapi dari pihak ketiga atau dari pihak lessee sendiri. Pada
sewa beli, lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang
disewakannya itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu, biasanya
barang tersebut berasal dari milik pemberi sewa sendiri. Pada IMBT keduanya
dapat terjadi, menyediakaan barang sewa dengan cara menyewa, kemudian
menyewakannya kembali. Juga dimungkinkan menyediakan barang sewa dengan membeli
kemudian menyewakannya.
Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk
membiayai transaksi dengan prinsip IMBT dapat saja membiayai penyewaan barang
kemudian barang tersebut disewakan kembali, dan dapat pula membiayai pembelian
barang kemudian barang tersebut disewakan. Yang jelas pembiayaan IMBT adalah penyediaan
uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu
sendiri. Terakhir, leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sedangkan
sewa beli tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan. Pembiayaan IMBT boleh
dilakukan oleh bank syariah, sedangkan sewa beli, leasing, IMBT tidak termasuk
kegiatan bank syariah.
Fatwa MUI
tentang IMBT
•
Pihak yang
melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah
terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau
pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
•
Janji pemindahan
kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu
ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan
setelah masa Ijarah selesai.
Sukuk Ijarah
Sukuk Ijarah merupakan surat berharga
yang merepresentasikan kepemilikan penyertaan atas asset yang disewakan. Sukuk
ini memberikan hak kepada para pemegangnya untuk mendapatkan uang sewa serta
hak untuk mengalihkan kepemilikan berdasarkan penyertaan yang mereka miliki
tanpa mempengaruhi hak si penyewa, dengan kata lain sukuk ini dapat diperjual
belikan. Para pemiliki sukuk menanngungg seluruh biaya perawatan dan kerusakan
dari asset yang dimilki berdasarkan proporsi kepemilikan mereka. (AAOIFI), Secara umum sukuk didefinisikan sebagai sertifikat
pertisipasi Islami yang dapat diperdagangkan berdasarkan kepemilikan dan
pertukaran dari asset yang disepakati bersama
Khusus untuk sukuk ijarah, kontrak yang mendasarinya adalah ijarah yaitu
sewa menyewa (leasing) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sebagaimana ketentuan transaksi bisnis syariah yang membedakannya dengan
ketentuan transaksi bisnis konvensional, kegiatan sukuk ijarah tidak boleh
bertentangan dengan syariah seperti : (a) Usaha perjudian dan permainan yang
tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (b) Usaha lembaga keuangan
konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (c) Usaha
yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman
haram; (d) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan
barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat (Fatwa No.
20 DSN-MUI/IV/2001). Selain itu, keuntungan yang akan dibagikan oleh penerbit
sukuk ijarah harus bersumber dari hasil usaha/pengelolaan sukuk ijarah itu
sendiri.
Untuk dapat melakukan kontrak sukuk berbasis ijarah, para investor,
penerbit sukuk dan pihak terkait lainnya wajib memenuhi sejumlah persyaratan
tertentu. Pertama, kedua belah pihak yang akan melakukan akad harus
berkemampuan dan berakal. Kedua, akil baligh sebagaimana yang disyaratkan oleh
Imam Asy Syafi'i dan Hambali. Sehingga berakad dengan anak kecil dinyatakan
tidak sah. Kemudian, agar transaksi berbasis ijarah tersebut menjadi sah
(valid), diperlukan pula sejumlah ketentuan tambahan. Pertama, adanya kerelaan
kedua belah pihak yang melakukan akad sebagaimana Firman Allah SWT pada Surah
An-Nisa ayat 29. Kedua, mengetahui secara sempurna manfaat dari barang yang
menjadi objek akad antara lain untuk mencegah terjadinya perselisihan.
Ketiga, barang atau asset yang menjadi objek akad dapat dimanfaatkan sesuai
dengan kriteria, realita dan syara. Imam Hanafi menambahkan bahwa menyewakan
barang yang tidak dapat dibagi (tidak dalam keadaan lengkap) tidak dapat
diperbolehkan, sebab manfaat kegunaannya tidak dapat ditentukan. Keempat, aset
tersebut sudah jelas, nyata dan dimiliki penerbit sukuk sehingga dapat
disewakan untuk diambil manfaatnya. Menyewakan binatang buruan (masih dalam
perburuan), tanah tandus atau menyewakan binatang lumpuh yang tidak dapat
diserahkan tidak dibenarkan secara syariah karena tidak mendatangkan kegunaan
yang menjadi obyek dari akad ini. Terakhir, sewa-menyewa yang dilakukan bukan
untuk sesuatu yang diharamkan. Menyewakan asset yang akan digunakan untuk
memproduksi minuman keras, tempat berjudi, dll tidak dibenarkan dalam syariah
dan kontrak ijarah yang dilakukan menjadi ijarah fasid.
Hal terakhir yang spesifik dan layak diketahui dari sukuk ijarah adalah
kontrak ini dapat diperjualbelikan di pasar modal
dengan harga yang ditentukan oleh kekuatan pasar. Kegiatan ekonomi,
investasi serta risiko yang berhubungan dengan
kesanggupan penyewa untuk membayar harga sewa serta biaya penjaminan dan
pemeliharaan asset menentukan harga sukuk ijarah di pasar keuangan. Namun
demikian, sukuk ijarah menawarkan suatu bentuk surat berharga yang fleksible
dan marketable dibandingkan jenis sukuk lainnya. (Muhammad Fadlillah}
Berikut ini
disajikan mengenai skema transfer manfaat atas aset yang telah tersedia. Pada
saat perusahaan merencanakan untuk menerbitkan sukuk ijarah, perusahaan
terlebih dahulu menetapkan aset yang akan diijarah-kan. Kemudian, perusahaan
menjual manfaat aset kepada investor. Atas transfer ini, perusahaan memperoleh
pembayaran lumpsum dari investor dan sebaliknya investor memperoleh sertifikat
sukuk ijarah. Pada tahap ini, perusahaan dan investor menandatangani akad
Ijarah, yang memposisikan perusahaan menjadi lessee dan investor menjadi lessor.
Selanjutnya, investor dan perusahaan menandatangani akad
Wakalah, yang berisi bahwa investor memberikan kuasa kepada perusahaan atas manfaat
aset underlying ijarah. Kuasa tersebut, digunakan oleh perusahaan untuk mencari
end customer yang bermaksud untuk menyewa aset underlying ijarah. Hal ini
dilakukan karena perusahaan memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan
investor terhadap industrinya. Setelah menemukan end
customer, perusahaan mentransfer manfaat aset underlying ijarah. Dalam tahap ini seakan-akan peranan perusahaan
adalah sebagai lessor mewakili investor dan end
customer adalah sebagai lessee. End customer berkewajiban membayar penggunaan asset
underlying ijarah. Pembayaran ini merupakan sumber kupon ijarah yang akan
dibayarkan perusahaan selaku lessee kepada investor selaku lessor.
Skema sukuk ijarah semacam ini dijumpai di Indonesia
khususnya transaksi sukuk ijarah PT Berlian Laju Tanker (BLT) Tbk. PT BLT Tbk menerbitkan sukuk ijarah untuk mentransfer
manfaat kapal tanker kepada investor. Kemudian PT BLT Tbk membantu investor
untuk
mencari end customer yang berminat untuk menyewa kapal
tanker PT BLT Tbk tersebut. Dari transaksi dengan end customer tersebut, PT BLT
Tbk memperoleh secara berkala, fee sewa yang diteruskan kepada investor sebagai
kupon ijarah. Pada skema ini tidak digunakan SPV karena konsep SPV tidak
dikenal dalam rezim hukum di Indonesia.
Gambar 1: Sukuk Ijarah Transfer Manfaat Aset
Pengurusan Haji
Bank melakukan pengurusan haji untuk kepentingan nasabah dengan
memperoleh ujrah (imbalan jasa). Dalam
pengurusan haji, Bank dapat memberikan dana talangan pembayaran Biaya
Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dengan akad qardh. Jasa pengurusan haji tidak
boleh dikaitkan dengan pemberian talangan haji.
Besarnya ujrah tidak didasarkan pada jumlah talangan haji.
Pembiayaan Multijasa
Pembiayaan yang diberikan bank kepada nasabah dalam memperoleh manfaat
atas suatu jasa. Dalam rangka pembiayaan multijasa tersebut, bank memperoleh
ujrah (imbalan jasa). Besarnya ujrah
disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan prosentase.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
patrick is mine!
Patrick is Love
day month year
my facebook :)
About Me
Pengikut
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar